Kota Malang, di bawah pohon beringin tempat nongkrong favorit.
Aku menunggu seseorang. Bukan, bukan pacar. Lagipula aku masih memilih
jadi jomblo prinsip daripada cari pacar.
Yang kutunggu dia sahabatku, namanya Tabita, biasanya sering kupanggil
Bita. Kami sudah bersama sejak duduk di bangku SMA. Dan beruntungnya waktu di
perguruan tinggi kami kembali bersama di satu jurusan, dan beruntungnya kami
berdua ‘terjebak’ di kelas yang sama.
Bita ini sudah punya pacar, Ino namanya, temen SMP-nya tapi baru jadian
ketika udah lulus, sayangnya mereka nggak satu sekolah. Coba kalau mereka
berdua satu sekolah, pasti aku bakal ngerjain mereka terus.
Beda sama aku, sayangnya hubunganku sama pacarku (lebih tepatnya
sekarang disebut mantan) harus kandas ketika aku lulus SMA.
“Hoi. Ngelamun aja.” Bita duduk di sampingku.
“Ahh enggak ngelamun kok.”
“Kelihatan tuh. Udah lulus nih, masak masih belum move on juga sih?”
“Cuma move on kan? Kalau cuma move on sih gampang, Bit.”
“Sekalian cari gebetan, sekalian dipacarin tuh.”
“Itu urusan belakangan, Bit. Kan aku udah pernah bilang kalau mau fokus
belajar dulu.”
“Yee jangan gitu dong emangnya kalau pacaran bakal terganggu ya
belajarnya?”
“Iya kayak kamu tuh kalau pacaran sama Ino, aku jadi ditinggalin.”
“Nah makanya kamu juga punya pacar, biar nggak sendiri kalau aku
tinggalin. Kan nanti jadi sama-sama pacaran.”
“Yaahh dasar modus nih sukanya.”
“Hehehe kan biar kamu punya pacar.”
“Ah apaan sih, nggak punya pacar juga nggak mati kan.”
“Hehehe iya deh iya. Tapi kalau cuma sekedar suka enggak apa-apa dong.
Mungkin aja bisa jadi motivasi.”
Entah kenapa dimataku pacaran itu jadi sesuatu yang aneh. Dan menjadi
hal menyebalkan ketika sudah putus cinta. Mungkin karena hubunganku jadi rusak
cuma gara-gara cewek lain itulah yang bikin aku jadi malas berpikir tentang
pacaran. Apalagi jaman sekarang, lagi musim banget yang namanya
pedekate-jadian-putus-cari lagi. Sejujurnya cuma ndengerin cerita orang yang
seperti itu aja udah bosen.
“Hoi kok jadi ngelamun lagi?”
“Ah enggak kok.”
“Ya udah yuk jalan, udah jam berapa ini. Belum jalannya kesana juga.”
“Oke ayo.” aku mengikutinya berdiri lalu berjalan menuju fakultas
tercinta.
********
Semester satu hampir berakhir. Tahun baru pertamaku menyandang status
mahasiswi. Tahun baru yang lalu aku masih siswa.
Seperti biasa aku menghabiskan tahun baru kali ini bersama Bita. Bita
lagi Bita lagi. Tahun baru kali ini menginap di rumahku, setelah setahun yang
lalu aku menginap di rumahnya.
Kebetulan aku baru saja pindah kamar ke salah satu kamar yang diatas.
Dan di bagian atas rumahku ada halaman kosong yang bisa digunakan untuk acara
kecil seperti bakar jagung misalnya.
Bita juga mengajak pacarnya. Tentunya pacarnya itu nggak ikut menginap.
Jam delapan dia sudah balik. Mau lanjut melekan sama teman-teman cowoknya.
Malam tahun baru tanpa cinta, tapi aku masih punya sahabat dan keluarga
yang baik.
********
Waktu berputar. Tak terasa sudah semester tiga. Aku dan Bita berpisah
kelas, tapi kami masih sering bertemu.
Dan Bita selalu saja mencoba mengenalkanku pada teman cowoknya. Ada juga
yang dipasang-pasangkan walaupun sebenarnya aku nggak suka.
“Hai.” cowok itu tersenyum padaku.
“Oh iya hai juga. Ada kelas?”
“Iya nih habis ini ada kelas. Duluan ya.”
“Oke.”
Namanya Rangga. Aku kenal dia waktu sekelompok ospek dulu. Dia itu pendiam.
Bahkan waktu kelompokan sama dia, aku nyaris nggak berbicara sama dia. Mau
mulai pembicaraan pun ya sungkan.
“Cie gebetan ya?” tiba-tiba Bita menyahut.
“Hush apa sih, sembarangan aja ngomongnya. Dia temen aku kelompok dulu.”
“Mungkin aja bakal jadi gebetan. Hahaha.” Bita melanjutkan tertawanya.
“Enggak lah, mana mungkin aku jadi suka dia.”
“Jangan bilang gitu, nanti suka beneran lho.”
“Ah enggak kok, aku sama dia kan cuma temen.”
********
Terkadang demi keluar bersama sahabat, aku rela nungguin Bita yang masih
ada kelas. Di depan kelas yang ditempati Bita ada taman, jadi kuputuskan untuk
menunggu di bangku taman itu.
Kurasakan HP-ku bergetar. Kubuka sms dari nomor yang tidak kukenal itu.
Hai cewek kok
sendirian aja nih di taman.
Aku melihat sekitarku, dan tidak ada wajah yang bisa kukenali.
Siapa ya?
Kutunggu beberapa saat tapi nggak ada balasan. Mungkin aja itu orang
iseng. Harusnya aku abaikan aja tadi, nggak usah dibales.
Menunggu Bita pun jadi terasa lama karena aku merasa nggak enak kalau
ada orang yang mengamatiku secara diam-diam.
“Hai nunggu siapa?”
Suara itu berasal dari belakang.
Aku menoleh ke belakang. “Eh kamu, aku lagi nungguin temen aku nih,
masih ada kelas soalnya. Kamu ngapain?”
“Aku mau ada kelas, tapi nanggung kalau mau balik ke kosan. Akhirnya ya
duduk-duduk aja disebelah sana.” Lalu dia duduk di sampingku.
“Oh gitu.”
Rangga, ya dia itu Rangga. Anak yang dulu kukira tidak pernah bicara itu
bicara padaku. Entah sejak kapan juga dia jadi keren seperti itu. Aduh mikir apa sih aku ini.
“Lho kok malah diem? Eh iya itu tadi nomer aku lho.”
“Nomer yang mana?”
“Itu lho nomer kamu yang sms kamu barusan.”
“Ohh jadi itu nomer kamu. Kirain nomernya siapa. Iseng banget tau nggak,
kirain ada orang yang diem-diem ngefans aku.”
“Hahaha ada-ada kamu itu. Ngapain juga ngefans sama kamu.” dia tertawa.
Ya, aku memang gampang suka sama seseorang yang memperlihatkan senyum
dan tertawanya. Kenapa aku jadi
deg-deg-an gini sih?
“Lho kok ngelamun lagi sih?”
“Eh enggak kok. Eh iya kok bisa tau nomer aku sih? Tuh kan beneran
ngefans ya sama aku?” gantian aku yang tertawa.
“Yee GR banget sih ini anak.” Rangga mengacak-acak rambutku. “Kan waktu
itu di kasih nomernya anak-anak satu kelompok, ya udah aku simpen aja, kan
berarti ada nomermu juga.”
Aku merapikan rambutku, “Hehehe. Jadi gitu ya, aku aja enggak nyimpen
nomernya anak-anak. Males sih ngetikin satu-satu. Kalau ada yang sms aku baru
aku save nomernya. Hehehe.”
“Jangan males-males lah nyimpen nomer, ntar kalau di sms jadi bingung
kalau di sms.”
“Hehehe iya deh, nanti aja di rumah. Soalnya catetannya aku tinggal di
rumah.”
“Nah gitu dong. Eh iya itu bukannya temen kamu ya?” Rangga menunjuk arah
kelas yang ditempati Bita. “Kayaknya udah selesai tuh kelasnya.”
“Eh iya nih. Aku kesana dulu ya. Wah maaf lho ya enggak bisa nemenin.”
“Iya enggak apa-apa kok. Hati-hati ya.”
Aku berdiri dan menuju ke arah Bita yang berjalan mendekatiku. Lalu kami
berdua berjalan bersama.
“Eh gimana sama Rangga?”
“Lho emangnya aku sama Rangga kenapa?”
“Kirain aja kamu udah jadi gebetannya.”
“Dia kelasnya sering deket sama kelasku lho.”
“Terus apa hubungannya sama aku?”
“Lho kali aja mau nyariin dia.”
“Ah apaan sih kamu ini. Aku tadi nungguin kamu, terus dia dateng. Ya
udah akhirnya ngobrol-ngobrol aja sambil nungguin kamu”
“Masak sih? Aku tadi liat lho si Rangga pegang-pegang rambutmu.”
“Ah Bita jelek ah, apaan sih pegang-pegang, enggak kok, kan dia
ngacak-ngacak rambut aku tadi.”
“Tuhkan kalian berdua pasti ada apa-apa.”
“Enggak ada apa-apa kok. Aku aja baru ketemu dia tadi.”
“Nah kan nggak pernah ketemu, terus tadi jadi akrab banget. Pasti ada
apa-apa.”
“Ihh Bita ini aku enggak ada apa-apa kok. Beneran deh.”
“Eh iya ngomong-ngomong kalian berdua cocok lho. Rachel sama Rangga.
Sama-sama huruf depannya R.”
“Ahh Bita ini apaan sih.”
********
Akhir-akhir ini aku sering melihatnya ‘berkeliaran’ kesana kemari di
sekitarku. Lalu aku tiba-tiba suka dengan senyumnya yang selalu dia pamerkan
ketika menyapa orang. Untuk orang pendiam seperti Rangga, senyum itu amat manis
jika dipasang diwajahnya.
Entah sejak kapan aku jadi suka sama dia. Mungkin karena pengaruh Bita
yang ngompori aku sama dia. Bukan suka sih, tapi aku ngerasa seneng waktu bisa
lihat dia. Seneng juga kalau bisa lihat senyumnya.
Aku sama Rangga tiba-tiba jadi lebih sering sms-an. Kukira dia pendiam
juga di sms, tapi ternyata tidak. Seandainya saja dia bisa se’ramai’ itu di
dunia nyata.
********
Ini sudah bulan desember. Siapa yang nggak menunggu bulan desember?
Bulan yang ditunggu-tunggu untuk menyambut tahun baru. Selalu ada saja acara
yang direncanakan demi tahun baru.
“Eh tahun baru nanti kita kemana ya enaknya?” aku mengawali pembicaraan
ketika kami berdua sedang duduk di tempat favorit.
“Kemana ya enaknya? Masak kita nginep di rumahmu lagi sih? Tahun kemaren
kan udah. Tahun kemarennya lagi nginep di rumah aku kan.”
“Hmm iya juga ya, jadi bingung nih kemana, masak lagi-lagi bakar jagung
di depan rumah. Kan udah terlalu sering ya tuh.”
“Eh iya aku ada ide nih.”
“Apaan emang?”
“Kamu tau kan kalau aku ikut Kakao?”
“Iya tau. Emangnya kenapa kalau kamu ikut itu?”
“Aku baru inget kalau tahun baru ada acara. Gimana kalau kamu ikutan
aja?”
“Emangnya orang luar boleh ikut?”
“Udah, pasti boleh lah, kalau kamu mau nanti aku ijinin.”
“Dimana emangnya? Nanti aku ijin ortu aku dulu deh. Tapi kalau keluarnya
sama kamu sih pasti dibolehin sama ortu-ku.”
“Di Batu sih. Tapi bukan rumah aku pastinya. Kita rencananya nyewa villa
disana. Dan bakal seru banget lho.”
“Beneran? Ya udah deh aku mau ikut ya.”
**********
Kota Malang. Tiga puluh desember.
Rombongan kami berangkat. Biar nggak semakin macet di jalan. Mengingat
kalau sudah malam tahun baru itu lebih cepat jalannya kura-kura daripada mobil
jalan. Selain itu di Batu juga banyak tujuan wisata yang menunjang tambah macetnya
jalan.
Kami berkumpul di base camp dekat kampus. Lalu kami masuk ke mobil. Yang
kutahu mobil yang kutumpangi lewat alun-alun kota Batu yang terkenal dengan
biang lala besarnya itu. Setelah itu aku bahkan nggak tahu arah jalan yang
dituju.
Kota Batu.
Untung saja aku mendapat kamar yang menghadap ke arah Malang, jadi
tinggal melongokkan kepala saja sudah kudapatkan pemandangan yang indah. Ada
dua pintu di kamar itu. Satu mengarah ke ruang kumpul, dan satunya lagi
mengarah keluar.
Aku meletakkan tas di kamar lalu keluar untuk melihat pemandangan. Udaranya
sejuk. Lebih tepatnya dingin karna siang itu mendung. Kulihat kebawah,
cowok-cowok masih memindahkan barang dari mobil ke villa.
Ternyata mereka ini mempersiapkan barang-barang yang pas buat tahun baru
seperti ini. Seperti gitar misalnya. Alat musik satu ini memang yang populer di
Kakao. Tentu saja populer, Kakao kan komunitas karaoke, jadi ketika tempat
karaoke sudah penuh, Kakao memilih menyanyi bersama diiringi gitar.
Hari pertama menginap di villa. Semua yang dilakukan terasa
menyenangkan. Ada yang bernyanyi, main remi, main uno, bahkan ada juga yang
diam saja sambil nonton tv.
Khusus buat yang cewek-cewek ada juga ‘kursus’ memasak. Bukan kursus
sih. Lebih tepatnya masak bareng-bareng. Yang masih belum bisa masak cuma
ngeliat dan kadang disuruh buat cari bahan ini itu.
Jam menunjukkan pukul enam. Dan makan malam sudah disiapkan. Setelah
makan malam pun mereka kembali ke aktivitasnya masing-masing. Aku memutuskan
untuk ikut bermain kartu UNO. Sayangnya aku selalu kalah dan yang kalah dikasih
bedak yang sudah dicampur air di wajahnya.
Pukul sembilan malam aku memilih kembali ke kamar. Ya aku masih belum
begitu kenal dengan mereka semua, makanya aku lebih memilih menghabiskan malam
dengan melihat pemandangan kota Malang ketika malam.
Sejenak kupandangi kota Malang yang berkilauan itu. Ahh seandainya saja Rangga ada disini juga sambil lihat ini bareng
pasti jadi so sweet. Apaan sih aku ini kok mikirnya gitu? Enggak mungkin
lah Rangga disini. Terlalu mengkhayal aku ini.
Sesaat kuarahkan pandangan ke gerombolan cowok-cowok yang bermain kartu
dibawah.
“Bita, Bita, Bita, Biiitaaaaa.” aku buru-buru masuk ke kamar.
“Aduh apaan sih? Ngagetin aja nih.”
“Itu ada Rangga diluar sana. Kok kamu nggak bilang sih dia ikut acara
ini?”
“Seriusan? Mana?” Bita menuju keluar kamar lalu aku mengikutinya. “Masak
sih dia ikut?” mencari
“Iya, aku tadi liat dia kok.” Aku berusaha mencari jejak bayangnya yang
entah kemana tiba-tiba menghilang.
“Jangan-jangan halusinasi kamu aja nih. Ciee mulai kepikiran ya sama
Rangga?”
“Ahh apaan sih enggak kok. Aku tadi beneran liat dia.”
Bita kembali masuk ke kamarnya.
“Aku kok nggak tau ya kalau dia ikut ini juga. Tapi biasanya sih aku
ngeliat dia suka kumpul bareng juga. Aku kira dia cuma ikut-ikutan temennya
aja.”
“Lho kamu ngeliat Rangga? Kok nggak bilang aku sih?”
“Kalau aku bilang ke kamu nanti kamu malah teriak-teriak nggak jelas.
Soalnya tiap aku ngumpul itu mesti pas jam kamu ada kelas. Sebagai sahabat yang
baik, tentunya aku nggak mengganggu waktu kuliah dong.”
“Ihh apaan sih, kan beda lagi ceritanya.”
“Toh kamu kan juga udah sering lihat dia di kampus.”
“Hehehe iya juga sih.”
“Tapi aku beneran masih enggak percaya kalau dia ikut ini. Soalnya di
daftar peserta sih waktu itu enggak ada. Mungkin aja kamu salah liat kali. Cie
mulai kepikiran Rangga ya, kok jadi keliatan Rangga.”
“Ah apasih. Hehehe.”
“Tuh kan bener kataku kamu jadi beneran suka. Apa kubilang.”
“Hehehe, gara-gara kamu nih ya. Habisnya kalau dia diperhatiin lama-lama
kok jadi manis ya?”
“Cie untung kamu mulai normal ya? Seingetku tahun lalu kamu masih nolak
yang namanya cowok.”
“Ah apasih, kan enggak apa-apa kalau cuma suka.”
“Nah kalau jadi cinta?”
“Itu lain lagi ceritanya.”
“Hahaha dasar modus kamu.” Bita melempar bantal ke wajahku, lalu
berjalan keluar kamar.
“Eehh mau kemana?”
“Keluar dong. Nemenin Ino. Mau ikut?”
“Enggak deh, nanti malah jadi obat nyamuk. Hahaha.”
“Yee ya udah ya aku keluar dulu.” Bita keluar kamar dan menutup pintu.
Aku kembali melihat pemandangan diluar yang lebih mengasyikkan daripada
merenung di kamar. Sesekali aku memandang ke bawah. Berharap kalau sosok yang
kulihat itu Rangga. Tapi sepertinya itu nggak mungkin. Lebih tepatnya aku hanya
berkhayal melihat dia.
Nggak kerasa udah jam dua belas. Udara semakin dingin dan aku masuk ke
dalam kamar. Tenggelam dalam selimut dan berusaha tidur.
Tapi setiap aku memejamkan mata entah kenapa Rangga muncul di pikiranku.
Kota Batu. Tiga puluh satu desember. Hari terakhir di tahun ini.
Seharian kami semua bermain-main. Bahkan siang tadi sempat menjelajah desa di sekitar villa. Ada juga yang bakti sosial ke rumah-rumah warga.
Seharian kami semua bermain-main. Bahkan siang tadi sempat menjelajah desa di sekitar villa. Ada juga yang bakti sosial ke rumah-rumah warga.
Jam dua kami kembali ke villa dan beristirahat sebentar. Aku tiduran di
sofa ruang tamu villa. Udaranya yang sejuk membuatku merasa ngantuk.
Akhirnya saat yang ditunggu tiba. Ini sudah beberapa jam menjelang tahun
baru. Sejak sore semua barang-barang yang diperlukan sudah disiapkan.
Di samping villa ada lapangan yang cukup luas. Kayu bakar di tata di
tengahnya. Di tepi lapangan disiapkan tempat untuk bakar jagung. Dan ketika
langit mulai gelap dan semua sudah makan malam, kami semua berkumpul di
sekeliling api unggun yang belum dinyalakan itu.
Diterangi lampu yang redup di pinggir lapangan kami semua bernyanyi,
bahkan ada yang sampai berjoget-joget pula.
Sesi bakar jagung juga dimulai. Jagung yang sudah kubeli bersama Rangga
tadi mulai dibakar satu persatu. Nggak takut buat kehabisan karna kami berdua
sudah membeli jagung yang banyak tadi.
“Bita, mau jagung bakar lagi?” aku sudah menghabiskan sebonggol jagung
bakar.
“Nanti dulu deh, ini masih ada. Rakus amat nih udah habis.”
“Yee kan enak, apa salahnya ngehabisin makanan yang enak.” aku menuju tempat
jagung bakar.
“Eh aku mau lagi dong jagung bakarnya, tapi yang manis aja ya, soalnya
aku nggak suka pedes.”
“Nih special buat kamu, kamu bakar sendiri aja ya.”
“Lho kok ditinggal sih?”
“Aku udah bakar dari tadi nih. Kamu gantiin aku ya, aku mau gabung sama
yang lain.”
“Lho kok gitu?”
Aldo tetap saja meninggalkan jagung bakar meskipun aku sudah berusaha
menahannya. Dengan terpaksa aku membakar jagungku sendiri. Mau bagaimana lagi
kalau lagi kepingin jagung bakar dan nggak ada yang ngebakarin, tapi masih ada
bahan-bahannya. Jadilah akhirnya ngebakar jagung sendiri. Pengalaman langka
gitu malam tahun baru bisa bakar jagung sendiri.
Aku mengambil jagung bakar lalu ku olesi dengan bumbunya sebelum
akhirnya kubakar. Aku juga nggak tahu cara membakar jagung yang baik dan benar.
Jadi kubakar seadanya, yang penting terlihat matang.
“Mbak, aku mau jagung bakarnya satu dong, yang pedes ya mbak.”
Aku menoleh ke sumber suara itu.
“Lho kok kamu ada disini juga?” aku bingung waktu kutau yang meminta
jagung tadi ternyata Rangga.
“Lho kok kamu jadi tukang jagung.” dia menahan tawa.
“Eh apasih, jangan diketawain dong, nggak aku bikinin jagung bakar lho.”
“Yah jangan gitu dong, aku berhenti ketawa deh.” balasnya sambil masih
terus tertawa.
Aku mengambil jagung lagi dan mengolesinya dengan bumbu yang pedas. Aku
baru ingat kalau Rangga itu suka sama makanan yang pedas-pedas.
“Kamu tau acara ini dari siapa?” Rangga bertanya.
“Oh dari Bita, dia yang ngajak aku, ya lumayanlah buat menghabiskan
malam tahun baru. Kalau kamu?”
“Dari temen-temen aku sih. Gara-gara aku sering nongkrong bareng
akhirnya diajakin juga.”
“Oh iya kamu ikutnya dari kemarin apa baru hari ini?”
“Ya dari kemarin lah, ngapain juga aku nyusul dari Malang kesini?”
Ternyata yang
kulihat kemarin bener Rangga.
“Soalnya aku nggak ngeliat kamu tuh. Makanya aku jadi kaget waktu liat
kamu.”
“Iya sih aku nggak menampakkan diri. Soalnya kemarin itu aku capek
banget, jadinya waktu aku sampai kesini aku langsung tidur. Dan bangunnya baru
malem.”
“Oh gitu, pantesan kok enggak keliatan sama sekali. Kayak hantu tau
keluarnya malem-malem.”
“Hehehe udah kebiasaan begadang sih. Jadi lebih betah kalau melek malem.”
Jagung yang dibakar udah matang. Aku mengangkatnya dan memberikannya ke
Rangga juga. Setelah itu aku duduk di tepi lapangan tak jauh dari tempat jagung
bakar. Rangga juga ikut.
Jam sebelas lewat lima puluh menit.
Jagungku sudah habis. Dan aku sudah cukup kenyang dengan dua bonggol
jagung yang sudah kuhabiskan. Aku juga sudah banyak bertukar cerita dengan
Rangga. Berhubung jurusan kami berbeda kami bisa saling bertukar ilmu.
“Kalau kamu ada harapan apa gitu buat tahun baru?” tanya Rangga.
“Hmm apa ya? Ya semoga aja kuliah lancar gitu. Nilainya bagus-bagus,
terus IPK juga naik.”
“Sekalian IPK lima gitu ya? Hahaha.”
Kami tertawa bersama.
“Ya enggaklah, maksimal kan empat, kalau lima sih yang satu nyolong
darimana?”
Kami tertawa lagi.
“Ya kali aja dosennya baik terus IPK jadi naik melebihi kapasitas. Eh
iya nggak kepingin punya pacar gitu? Kebanyakan cewek jaman sekarang yang
dipikirin pacar lho. Apalagi katanya kalau tahun baru pacar baru juga. Hehehe.”
“Wah kalau itu sih urusan belakangan menurutku. Lagipula sih buat apa
juga punya pacar tapi cuma buat status. Serius belajar dulu aja sih. Nanti
kalau udah waktunya ya pasti pacar itu muncul sendiri. Kenapa nih tanya-tanya?
Mau daftar ya jadi pacarku. Hahaha.” tawa evil-ku
muncul. Aduh bodoh banget keceplosan gitu.
Malu-maluin aja.
“Ah pede banget kamu bilang gitu.” Rangga tertawa kecil. “Tapi bener
juga enakan nggak pacaran dulu sih ya.” dia melanjutkan tertawanya.
Perih juga ini hati waktu denger dia bilang gitu. Seolah-olah pintu
hatinya juga ditutup seketika dan nggak ada jalan buat aku masuk. Aku jadi
bingung sebenarnya dia sudah punya pacar apa belum. Tapi selama ini enggak
pernah lihat dia jalan sama cewek.
“Wah udah tinggal beberapa menit lagi nih. Orang-orang juga semakin
menggila nih.” Rangga menunjuk ke arah api unggun, dan benar saja mereka
terlihat semakin gembira di menit-menit menjelang tahun baru ini.
“Eh iya harapan kamu apa dong? Kan kamu belum cerita.”
“Ya kalau aku si hampir sama ya, kuliah lancar. Ya kalau urusan pacar sih
bener kata kamu juga sih. Nanti kalau udah waktunya pasti muncul sendiri.
Walaupun ada cewek yang disukai. Tapi kayaknya sih harus menunggu waktu yang
pas.”
Cewek yang disukai?
Aku jadi cemburu sama siapapun cewek yang disukainya.
“Cie normal juga kamu bisa suka cewek?” aku menutupi rasa cemburuku.
“Ya iyalah aku suka cewek, kan nggak salah juga. Normal gitu.” dia
tertawa.
“Ya kirain aja tiba-tiba jadi suka cowok.” aku menyambung tertawanya.
“Ya semoga juga di tahun yang baru nanti aku bisa semakin deket sama
orang yang aku suka, dan semoga dia juga sadar kalau selama ini aku udah suka
dia.”
Deg! Jantungku serasa membeku mendengarnya. Ternyata dia sudah
benar-benar suka sama yang lain.
“Cie siapa nih kasih tau dong? Nggak cerita-cerita nih.” tiba-tiba air
mataku menetes. “Aduh mataku kelilipan apa ini. Aduh sakit banget.”
Tentu saja aku bohong, aku nggak mungkin bisa menunjukkan wajah nangisku
di depan Rangga. Untung saja lampu di lapangan cukup remang-remang sehingga
wajahku nggak keliatan seperti orang yang nangis.
“Lho kenapa enggak apa-apa kan? Mau aku tiupin?”
“Eh iya enggak apa-apa kok, enggak usah, ini udah baikan kok.”
Dorr! Dorr! Dorr! Kembang api pun meluncur, tapi bukan dari kelompok
Kakao ini, dari sebelah lebih tepatnya.
Aku mengajak Rangga untuk bergabung dengan yang lainnya mendekati api
unggun. Selisih beberapa detik setelah aku berdiri di dekat api unggun. Kembang
api pun mekar di atas kami.
“Yey!!”
“Hore!!”
“Aaaaa!!”
Banyak teriakan yang terdengar di telingaku. Aku sampai menutup telingaku.
“Kamu kapan sadarnya?” Rangga berbisik di telingaku.
“Apa?” aku menoleh ke arahnya.
“Eh enggak kok, itu kembang apinya bagus ya.”
Aku mendengarnya, beberapa patah kata itu aku mendengarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar