Selasa, 25 Oktober 2011

Menabrak Bintang *part 1

“La, kamu dicari nenek tuh. Nenek minta kamu dateng ke kamarnya.”

“Oh, iya Ma bentar, aku mau nutup laptop dulu.”

Aku harus nurutin apa perintah nenek habis ini, soalnya keadaan nenek kan juga agak sakit. Mungkin kalau aku menuruti apa permintaan dan perintahnya itu bisa membuat keadaan nenekku membaik dan jadi sehat kembali.

Aku membuka pintu kamar nenek dan perlahan-lahan memasuki kamarnya.

“Ada apa nek? Tadi nenek manggil aku kan?” Lho kok nenek enggak ada di tempat tidurnya sih, padahal katanya kan nenek lagi sakit. “Nek, nenek dimana sih?”

“Doorrr!!” nenek tiba-tiba muncul dari kamar mandi yang ada dikamarnya tepat waktu aku melongokkan kepalaku untuk melihat nenek yang mungkin ada di kamar mandi.

“Astaga ya ampun, nenek jangan bikin kaget gitu dong! Katanya nenek sakit kok nenek nggak tiduran di kasur sih.”


“Hihihi.” Nenek terkekeh. “Kalau orang sakit kan nggak harus tiduran. Bisa-bisa malah tambah lemes bukannya tambah sembuh.”

“Iya sih nek. Tapi nenek kan juga nggak harus ngagetin aku. Kalau aku punya penyakit jantung pastinya aku udah pingsan deh gara-gara nenek.”

“Tenang, struktur keluarga kita sudah pasti tidak ada yang mengidap penyakit jantung, keluarga kita nggak punya penyakit menurun seperti itu. Semua sudah melakukan tes dan check up kesehatan dan dapat dipastikan tidak ada yang terkena penyakit jantung.”

“Tapi nek, aku tadi kan bilang, kalau misalnya kena penyakit jantung.”

“Iya nenek tahu. Nenek kan cuma beritahu aja. Jangan-jangan kamu belum tahu apa-apa tentang struktur keluarga kita dan peraturannya yang harus dipatuhi?.”

“Sudah, Nek, aku sudah tahu, libuan kemarin aku baru baca. Jadi, masih membekas dengan jelas di otakku, Nek.”

“Tapi kamu kan belum ndengerin yang Nenek langsung ceritain. Ayo sini duduk dulu nenek ceritain dulu.” Nenek menuju tempat tidur lalu duduk di pinggirnya sambil menarik tanganku untuk ikut duduk di sampingnya.

“Nek.” panggilku. “Aku tadi kesini kan bukan buat minta diceritain sama nenek.”

“Masak kamu enggak mau nemenin nenek yang lagi sakit ini?”

“Bukannya gitu, Nek. Aku kan juga masih harus ngerjain PR aku buat besok. Emangnya nenek mau punya cucu yang nggak ngerjain PR terus kena tatib dan hal itu bakal menjadi hal yang memalukan bagi keluarga kita sendiri.”

“Paling nggak kamu kan bisa dengerin sekilas ceritanya saja kan.”

“Tapi, Nek aku kan sudah bilang tadi. Sekarang mendingan nenek minta apalagi gitu deh kecuali cerita tadi. Kalo Nenek masih mau cerita, lebih baik cerita ke Mama aja yang lagi nyantai itu.”

“Nenek minta kamu beliin sate yang ada di pojok sana itu. Terus kamu juga harus nemenin nenek selama nenek makan.”

“Oh kalau itu sih gampang, Nek. Nenek maunya sate ayam apa sate kambingnya?”

“Nenek minta sate kambing aja. Kalau sate ayam kan udah sering beli.”

“Oh beres, Nek.”

“Tunggu, tapi ada syaratnya.”

“Hah?! Syarat apaan, Nek? Kok mesti pakai syarat-syarat segala sih, Nek? Tinggal beli aja kan cukup, Nek. Jangan bilang kalau nenek minta buat aku yang ngebayarin satenya.”

“Tenang aja, nggak mungkin jugalah nenek minta bayarin, bisa-bisa kamu nanti pas sekolah malah nggak bisa jajan.”

“Terus apa dong, Nek??”

“Kamu kesananya jalan kaki aja.” Kata Nenek sambil terkekeh “Hihihi.”

“Lhoo.. nenek kok gitu sih. Kenapa nggak naik sepeda aja sih.”

“Sudah. Kamu turuti saja. Apa salahnya sih kalau jalan kaki. Toh bisa bikin sehat.”

“Tapi Nek…”

“Sudah jangan pakai tapi-tapian. Daripada kamu nanti nenek suruh dengerin cerita nenek sampai malem. Pilih yang mana hayo.”

“Ya udah, Nek, aku berangkat dulu ya.”

“Tunggu!”

“Apalagi sih, Nek?”

“Kan sama nenek belum dikasih uangnya.”

“Oh iya, Nek. Hehehe. Aku berangkat dulu ya, Nek. Nanti kalau aku udah dateng aku bawain satenya buat nenek.” Kataku sambil keluar lalu menutup pintu.

Aku pamit sebentar ke Mamaku, kebetulan juga waktu itu Mamaku lagi ada tamu, jadinya aku terpaksa berangkat sendiri. Nggak mungkin juga kan kalau aku maksa-maksa Mama, toh aku kan juga udah besar bisa pergi sendiri.

Aku mengambil jaket dan segera keluar, mengingat aku sendiri juga belum makan malam jadi aku harus buru-buru beli, biar sekalian ikut makan

Sambil menyapa kucing kesayanganku yang ada di halaman luar, aku mengamati langit.

“Waow!” aku tersentak kagum, karena akhir-akhir ini aku tak melihat langit yang seterang malam ini. Bagus banget nih menurutku. Paling bagus diantara yang kulihat selama ini, padahal langit yang kulihat kan sama aja dengan sebelumnya.

Perjalanan menuju warung sate pojok, kulewati dengan melihat-lihat bintang diatas. Tentunya aku juga sambil melihat depan belakang. Aku nggak mau kan kalau aku nantinya tertabrak gara-gara aku meleng lihat keatas terus, soalnya jalan yang kulewati tergolong jalan yang lumayan sering dilewati kendaraan bermotor sebagai jalan alternatif.

Akhirnya aku sampai juga ke warung sate-nya, buru-buru ku pesan saja, soalnya aku barusan melihat ada dua orang yang baru masuk keparkiran warungnya, kali aja entar malah keduluan pesen.

“Bang, sate kambingnya satu ya!”

“Satu tusuk apa satu jinah? Hehehe.”

“Abang tu bisa aja. Ya satu jinah lah, Bang. Kalau satu tusuk sih kucing aja kurang, Bang. Hahaha.”

“Ya udah, tunggu dulu ya, duduk aja sana.”

Tentunya aku menolak untuk duduk, udah tahukan kalau maksudku itu mau ngelihatin bintang di langit. Lebih indah berdiri sambil lihat bintang daripada duduk melamun lihat asap sate yang enggak ada bagusnya itu.

“Mbak, ini sudah selesai.”

“Oh iya, Bang. Kok cepet sih, Bang?.”

“Mbak ini gimana sih, lupa ya, biasanya kan waktunya ya segini ini.”

“Oh gitu ya, Bang. Ya udah Bang, ini uangnya. Makasih ya, Bang.”

Akhirnya selesai juga. Dingin sih diluar, pengen cepet-cepet pulang terus masuk kamar, belajar buat besok. Tapi jadi nggak bisa lihat bintang dong, nggak apa-apa deh, kalau sambil jalan gini kan bisa santai-santai dikit, sambil lihatin bintang.

Sungguh deh bagus, kayak mimpi rasanya lihat yang sebagus ini.

Tiinn… Tiinnn…

continue to part 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar